Halaman

Jumat, 14 Februari 2014

Tarian Kabasaran Minahasa

TARI KABASARAN
Tari Kabasaran adalah tari perang. Mengangkat atau memuliakan perang ke dalam karya estetika, memberikan gambaran tentang masyarakat itu sendiri.
Berperang memang diluhurkan sebagai krida sangat mulia bagi masyarakat yang gagah berani seta kokoh membela kebenaran dan keadilan. “Dr. A. B. Meyer”, seorang peneliti sosio- budaya mayarakat Minahasa, dalam sebuah laporannya sampai menarik kesimpulan: Perang adalah bagian format kebudayaan minahasa lama. Menurut salah satu tokoh kebudayaan dari Minahasa “Jessy Wenas”, Tarian ini sebenarnya adalah tarian sakral. Tarian ini ditarikan secara turun temurun oleh generasi penari Kabasaran. Jika dalam upacara adat Minahasa, Kabasaran adalah prajurit adat yang memiliki otoritas penuh dalam jalannya sebuah adat, mereka dulunya bisa membunuh atau mengusir si jahat yang mengganggu upacara.
Dahulunya tarian ini hanya dikeluarkan saat perayaan upacara adat di Minahasa, namun sering dengan perkembangannya, tarian sakral inipun kini bisa ditonton publik untuk kegiatan pariwisata. Sampai saat ini Tarian Kabasaran merupakan salah satu Tarian Sakral di Sulawesi Utara, juga Tarian Sakral Masyarakat suku Minahasa. Tari Kabasaran sangat akrab dalam kehidupan masyarakat Minahasa, mendapat tempat dalam acara- acara besar seperti perkawinan, penjemputan, dan pengawalan secara adat bagi petinggi pemerintah ataupun tokoh masyarakat.
KABASARAN MINAHASA (Wikipedia)

Tou Minahasa atau orang Minahasa dalam sejarahnya merupakan Waraney atau kesatria- kesatria perang di tanah Minahasa. Dulunya disebut Malesung. Tarian Kabasaran merupakan pencerminan salah satu kebudayaan Minahasa dari masa lampau. Berperang untuk Tou Minahasa memang merupakan suatu yang diluhurkan sebagai manusia yang gagah berani, mempunyai semangat perjuangan, dan kebijaksanaan.
Pada awalnya Tarian Kabasaran bernama Sakalele dan berubah menjadi Cakalele. “Sakra” berlaga dan “Lele” berlari, berkejaran melompat- lompat. Kata Kabasaran sendiri berasal dari bahasa Minahasa yaitu “Kawasalan”, ini kemudian berkembang menjadi “Kabasaran” yang merupakan gabungan dua kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa.
Para penari dalam tarian Kabasaran semuanya adalah lelaki, atau disebut Waraney artinya Prajurit atau Kesatria. Pemimpin dalam Tarian adalah Tonaas Wangko artinya pemimpin besar pasukan perang dalm hal ini nerlaku sebagai pemimpin tarian. Pada dasarnya setiap pelaku tarian perang Kabasaran saat menari harus berwajah garang, tidak tersenyum, dan mata melotot. Hal ini menandakan kegarangan dari paskuan perang Kabasaran suku Minahasa di medan tempur. Pelaku tarian perang biasanya berjumpah minimal enam (6) Waraney dan satu(1) Tonaas Wangko. Selain itu ada para penabuh tambor.
Kostum tarian Kabasaran pada dasarnya, adlah tirai- tirai berwarna merah. Warnat merah dipilih karena melambangkan keberanian sedangkan kostum yang berbentuk tirai layaknya baju tempur perang pada jam dahulu. Penutup kepal, biasanya dihiasi dengan paruh burung yang menjulang keatas, dulunya paruh burung tersebut adalah paruh burung Taong dan burung Cendrawasih, disertai dengan buluh buluhnya, ini sebagai lambang kebesaran. Pada bagian depan kostum, biasanya terdapat beberapa tengkorak kepala, tengkorak- tengkorak tersebut melambangkan setiap waraney atau pasukan perang sudah pernah membunuh musuhnya di medan tempur dan kepala musuhnya dipergunakan sebagai tanda kehebatan. Busana yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari kain tenun Minahasa asli dan kain “Patola”, yaitu kain tenun merah dari Tombulu dan tidak terdapat di wilayah lainnya di Minahasa, seperti tertulis dalam buku Alfoersche Legenden yang di tulis oleh PN. Wilken tahun 1830, dimana kabasaran Minahasa telah memakai pakaian dasar celana dan kemeja merah, kemudian dililit ikatan kain tenun. Dalam hal ini tiap sub-etnis Minahasa punya cara khusus untuk mengikatkan kain tenun. Khusus Kabasaran dari Remboken dan Pareipei, mereka lebih menyukai busana perang dan bukannya busana upacara adat, yakni dengan memakai lumut-lumut pohon sebagai penyamaran berperang. Sangat disayangkan bahwa sejak tahun 1950-an, kain tenun asli mulai menghilang sehingga kabasaran Minahasa akhirnya memakai kain tenun Kalimantan dan kain Timor karena bentuk, warna dan motifnya mirip kain tenun Minahasa seperti : Kokerah, Tinonton, Pasolongan dan Bentenan.
Setiap penari dilengkapi dengan Santi atau pedang perang dan Kelung atau perisai untuk menangkis serangan musuh. Pada sebagain pasukan tidak memakai Santi atau Kelung melainkan memakai Wengko atau tombak. Keseluruhan kostum dalam tarian perang Kabasaran, setiap orang yang memakai akan merasa dan terlihat gagah layaknya seorang Waraney yang penuh dengan keberanian dan siap untuk bertempur. Tarian Kabasaran selalu di iringi dengan tambor, alat musik yang dipukul. Tambor dipergunakan untuk menambah semangat dari pasukan saat berperang atau saat melakukan tarian perang.
Dalam tarian perang Kabasaran mempunyai aba-aba dari Tonaas Wangko serta pekikan semangat yang diteriakan oleh seluruh Waraney dan Tonaas Wangko. Pada saat tarian perang Kabasaran baru akan dimulai, Tonaas Wangko akan memberi aba-aba Masaruan artinya berhadapan, wangunan kelung wo santi artinya angkat pedang dan perisai, Makasampe artinya berdekatan, melompat kecil dua langkah kedepan dan saling mempertemukan perisai, sampai pada aba-aba ini penari perang Kabasaran terbagi dalam dua barisan yang berhadapan dan saling mengangkat pedang dan perisai. Tumbalan Kelung artinya turunkan perisai, aba-aba ini biasanya disertai dengan Sumiki artinya menghormat, memberikan penghormatan kepada lawan, hal ini melambangkan kejantanan seorang Waraney. Adapun hormat yang diberikan kepada orang besar tetap memakai aba-aba Sumiki. Berikut aba- aba Rumenday artinya kembali pada posis semula. Retaan kelung wo santi artinya menaruh perisai dan pedang, biasanya aba-aba ini, pada bagian Waraney akan menari tanpa pedang dan perisai. Timboyan kelung wo santi artinya mengambil perisai dan pedang.Mareng tampa artinya pulang atau kembali ketempat semula. Semua aba-aba di atas diiringi dengan ketukan tambor dua kali.
Tonaas Wangko akan mengeluarkan aba-aba cakalele untuk adanya tarian perang saling berhadap-hadappan, saat aba-aba tersebut diteriakan maka penari akan dengan garang menari mengunakan pedang dan perisai, seakan saling menyerang. Tambor manari dan tambor maleyonda aba-aba ini akan mengisyaratkan para Waraney untuk melakukan tarian dengan tidak mengunakan pedang dan perisai. Pada setiap aba-aba tersebut selain diikuti dengan suara ketukan tambor dua kali, diikuti juga dengan teriakan dari para Waraney.
Saat sudah mulai menari Tonaas Wangko akan mengeluarkan teriakan I Yayat U Santi sebanyak tiga kali, artinya angkat pedang untuk perang, lalu akan dibalas oleh para waraney denga teriakan yang penuh semangat dan mengelegar. Teriakan itu akan menumbuhkan gejolak emosi dan rasa keberanian yang tinggi terhadap para waraney. Selain itu Waraney juga akan mengeluarkan teriakan-teriakan tuama, nyaku tuama, artinya saya laki-laki. Tetapi pengertian “Tuama” dalm bahasa Minahasa bukan hanya sekadar lakai-laki melainkan seorang laki-laki yang penuh dengan keberanian, kebijaksanaan, cerdas, mempunyai jiwa kepemimpinan, dan pantang menyerah.
Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak yang terdiri dari:
1. Cakalele
Yang berasal dari kata saka yang artinya berlaga, dan lele artinya berkejaran melompat lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang, babak ini menunjukkan keganasan berperang mereka pada tamu agung, serta untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung, dimana mereka bisa membuat setan takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran.
2. Kumoyak
Yang berasal dari kata koyak artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata koyak sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.
3. Lalaya an
Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang, dibabak ini para penari bisa berekspresi riang, dibanding dua babak sebelumnya yang mengaharuskan mereka berwajah garang tanpa senyum.

berikut adalah gambar kelompok Penari Tarian Kabasaran yang diperankan oleh Organisasi Sanggar Seni Tou Rinembok kecamatan Remboken.




betokoaguow blogspot

REFERENSI:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar